11/04/2011

Shalat Dhuha dan Permohonan

"Shalat dhuha itu sing ikhlas. Jangan karena pengen kaya, jangan karena pengen pintu rizki dibuka. Jangan karena pengen banyak duit," begitu kita dengar dari orang-orang yang kepengen memurnikan ibadah agar semata ikhlas karena Allah.

Di dalam buku The Miracle of Giving yang saya tulis, saya menyebut tidak mengapa kita melakukan ibadah dan mengejar apa yang Allah janjikan. Ketika yang lain menamakan pamrih dan atau tidak ikhlas, saya menyebutnya: Iman. Percaya. Karena saya percaya sama apa yang diseru Allah dan Rasul-Nya, lah ya saya kerjakan. Ketika Allah dan Rasul-Nya menyuruh dhuha agar rizki terbuka, dan atau menjanjikan keutamaan dhuha bisa begini dan begitu, ya saya sambut. Saya kerjakan. Sepenuh hati. Ini juga namanya Ikhlas. Bahasa entengnya: Nurut. Tunduk. Kita percaya sama Allah. Masa janji yang dijanjikan oleh Yang Maha Benar kita sia-siakan? Iya ga? Sambut, percaya, yakini, dan jalankan. Manteb.

Apa lagi yang utama selain begini? Ketika yang lain shalat dhuha kosongan (tak berharap apa-apa), saya mah mengerjakan dengan "isi". Maksudnya, dengan doa. Doa itu permintaan dan harapan. Ga usah pake dhuha, doa mah ga dhuha juga ga apa-apa. Apalagi kalau mau mbarengi dengan dhuha sebagai amal saleh pengiring doa. yang lain yang tidak meminta sama Allah, akan pulang dengan membawa pahala dhuhanya saja. Sedang saya dan jutaan orang yang meminta kepada Allah dengan mendahului dhuha, akan pulang dg membawa pahala dhuha, keyakinan, dan pahala doa.

Doa juga ada pahalanya loh. Meminta itu kan, doa. Mukhlishiena lahud dien, ikhlas, nurut, manut, percaya, sama apa yang Allah gariskan. Ikhlas dalam bahasa Indonesia, jangan samain dengan Ikhlas dalam bahasa Arab. Dalam bahasa arab, apalagi bahasa agama, kata-kata ikhlas panjang artinya. Bukan kosongan model pengertian ikhlas dalam bahasa Indonesia. Kalau dalam bahasa Indonesia kan kesannya jadi kayak kagak boleh minta apa-apa. Ini kan gila. Masa sama Allah jadi ga boleh minta? Sedang kita malah disuruh minta sebagai sarana ibadah juga sama DIA. Siapa yang minta sama Allah, tandanya perlu. Semakin banyak mintanya, semakin bagus.

Saya mah ga mau denger omongan orang yang ngomong begini: "Jangan minta terus sama Allah. Malu". Maksudnya sih pasti bagus. Tapi saya benar-benar ga mau pake kalimat itu. Saya lebih suka make: Minta terus sama Allah. Sering-sering. Tapi jangan lupa amal salehnya, ibadahnya, tauhidnya. Diperbaiki. Adalagi yang mengatakan, sesiapa yang dhuha karena masalah, karena pengen rizki, maka ketika sudah dibuka rizki, setelah masalahnya selesai, akan selesai juga dhuhanya. Lah, dua tesis dijadikan jadi satu prasa. Ini membingungkan. Sedang Allah sendiri yang bilang, bahwa dhuha itu benar-benar pintu rizki dan jalan kalau masalah mau ditolong Allah. Lalu kita datang menyambut, maka turunlah rizki dan selesailah masalah. Apa ini salah? Kalau kemudian orang tersebut behenti dhuhanya, ya jangan salahin "sistem" nya. Jangan salahin keyakinan yang pertama. Salahin dia dong. Kenapa dia ga bersyukur. Mestinya kan kalau sdh dibukakan rizki, dibukakan jalan, ya istiqamahin dong. Ditetepin dong. Dhuhanya. Jangan malah berhenti.

Nih ya, apalagi kalau kemudian orang yang menjalankan dhuha itu kemudian jatuh blangsat sebab ga mengerjakan lagi dhuha, wuah, omongannya akan bertambah: Situ sih, mengerjakan dhuha bukan karena Allah! Bagi saya, kejatuhannya, bukan sabab niatan yang salah. Bukan. Tapi lebih dikarenakan dia ga bersyukur. Wong mestinya tambah ingat, ini koq jadi lupa. Ya terang saja dihabisin lagi sama Allah, dan dibalikin lagi ke posisi semula. Atau malah lebih hina. Waba'du, kita terusin lagi nanti ya. Met dhuha. Kejar terus ketertinggalan kita dalam ibadah dhuha. Apa yang saya jelaskan, berlaku juga untuk penjelasan tahajjud, sedekah, mahabbah sama orang tua, dan ibadah-ibadah lainnya. Mari kita percayai janji Allah. Itu malah jadi salah satu keutamaan tambahan.

Sumber : Yusuf Mansur Network

0 Comment:

Posting Komentar